Teacher's Diary

Assalamu'alaikum wr.wb.
Hello!
Selamat malam, sekarang ini pukul 19.24 hari Selasa, 7 Januari 2020. Hei, secepat itu ternyata waktu berlalu. Oh iya, sekarang ini nggak pengen ngomong formal dulu ya. Ini beneran pengen mengungkapkan sesuatu.
Mulai dari mana ya? Sebelumnya, syukur alhamdulillah diberikan kesempatan untuk benar-benar ngerasain jadi guru. Setelah sekian banyak drama nyari kerja yang bikin frustasi. Sebenernya kerja itu nggak hanya soal uang, tapi lebih ke kegiatan yang bermanfaat. Masalah uang sebenernya tanpa sebuah posisi pun uang bisa dicari. Kerja juga soal pengalaman, guys.
Sekolah tempatku ngajar sekarang sedikit banyak berbeda dengan sekolah yang biasa kujumpai baik selama sekolah maupun sampai udah kuliah. Dari dulu bener-bener antipati banget nggak pernah mau ngajar STM karena isinya cowok semua. Nggak ngerti sih ya, kaya berasa gimana aja gitu. Nggak biasa.
Nyatanya sekarang malah dihadapkan pada rutinitas ketemu laki-laki aja atau perempuan aja. Kaget? Iya jelas. Di awal butuh waktu lumayan lama untuk menyesuaikan diri. Gimana untuk memperlakukan mereka? Gimana biar mereka nggak bosen? Gimana biar niat dan tujuanku itu sampai ke hati dan pikiran mereka? Situasi yang 180 derajat berbeda dengan sekolahku dulu. Stres? Iya sempet stres di awal. Ketika anak-anak sejenis ini disatukan di dalam satu wadah. Satu males, lainnya ikut. Satu ngeselin, lainnya ikut. Duh!
Kesulitan pertamaku ada di sana justru bukan karena harus belajar lagi semua materi dari semua jenjang di SMA. (Kebayang nggak? Kalau enggak, nggak usah dibayangin, nanti stres!) Nah, kesulitan utama justru untuk menghadapi situasi dan kondisi yang luar biasa tadi. Yah, anggaplah di sekolah biasa ketika ada cewek yang super ceriwis dan banyak gosip pas lagi dijelasin, ada semacam penyeimbang yaitu para lelaki yang setidaknya tau caranya diam. Atau waktu si lelaki yang super malesan, ada cewek yang setidaknya tau caranya ngerjain PR bukan di sekolah.
Secara umum lho ini.
Emang kok nggak semua kaya gitu. Kadang aja rasa hati kurang bisa menerima sama keadaan haha. Sampai nemu suatu gagasan untuk tidak pasang muka spaneng dengan tujuan, setidaknya si anak-anak yang penuh harap untuk masa depan ini minimal senang mengikuti pelajaranku yang memang berat seberat beban hidupku. Ya, kadang ku terpikir rasa ga enaknya ketika pelajaran berat disandingkan dengan guru yang spaneng. Gaenak!
Nggak baik emang jadi guru yang terlalu baperan. Dikit-dikit dirasake sampai pernah kepikiran sebegitunya sampai ngalamun di jalan. Ketika mereka nggak ada gagas gagasnya sama aku, eh pelajaranku. Atau ketika ngerasa beberapa soal udah diajarin berkali-kali tapi pas di tes nggak bisa (sekali lagi ini tidak bermaksud menggeneralisasikan dan nggak cuma ada di sekolah yes!). Pas lagi baper-bapernya, ngerasa bersalah banget. Sering loh terlintas dalam pikiran apa aku nggak bisa ngajar ya? Salahku dimana? Mereka ga bisa nangkep maksudku? Dan seterusnya.
Begitulah, banyak yang harus diadaptasi. Nggak cuma kebiasaan, tapi juga cara kerja. Pernah kebayang sesimpel fotocopy kayaknya keren dulu guruku tinggal kasih ringkesan mau tebel mau tipis, si anak yang ngegazz untuk fotocopy (krn aku sie fotocopy yang kemana-mana bawa kardus kertas HVS! Emang masa SMA selucuk itu). Tapi sekarang beda, kekerenan itu sirna.... Hihii
Tapi dengan sekian banyak hal yang perlu diadaptasi, banyak pula sih kebiasaan baik, hal lucu, ataupun zona nyaman yang buatku jatuh cinta.
Ya gitu, kadang pengen mengeluh, ih kenapa sih kaya gini, kenapa sih kaya gitu. Sambat adalah sifat dasar manusia. 
Tapi, melihat tatapan anak-anak dengan harapan baik di masa depan, hatiku luluh. Rasa sayang yang kadang tiba-tiba muncul entah dari mana? Semangat dan energi positif yang selalu berusaha  kubawa setiap ketemu mereka. Canda tawa mereka dan cerita yang sederhana kadang emang berhasil membuatku lupa dengan semua persambatan tadi.
Semua pengalaman baru yang mungkin nggak pernah kudapat dari sekolahku dulu, akhirnya kudapat di sini.
Capek? Iya, kaya sekarang ini. 10 jam sehari adalah sebuah siksaan badan, perasaan, dan pikiran. Maaf untuk anak-anakku tersayang yang kebetulan dapat jam terakhir. Dan terkadang kalian menjadi tempat pelampiasan segala rasa kesal yang numpuk dari pagi. Tapi, nak, serius suka baper aja kalau inget anak-anak manis yang dapat jatah di sore hari. Gimana pengertiannya, ungkapan sayangnya, sambatnya, curhatnya.
Hal yang nggak pernah kudapat jika masih berkutat dengan dateline di depan komputer.
Ah, masih banyak yang ingin kuceritakan.
Sampai jumpa di sesi curhat selanjutnya.
Wassalamualaikum wr.wb.
Love,
LHR 😍

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen dalam rangka hari anak nasional

Cara Mengurus Surat Sehat Jasmani Rohani, SKCK, dan Bebas Narkoba

Cita-citaku menjadi Guru