Cerpen dalam rangka hari anak nasional
Suatu pagi di sebuah desa nun jauh disana, tepatnya
sebuah desa tertinggal yang letaknya jauh dari perkotaan. Keluarga kecil yang
tak pantas lagi dikatakan kecil hidup bahagia pada sebuah gubug reot nan tua
yang terletak dipinggir sungai. Lantai terbuat dari tanah liat dan dinding
berbahan dasar bambu yang telah berubah warna karena jamur dimana-mana. Korden
usang dan kaca yang sudah tidak bening lagi juga menghiasi sudut gubug
tersebut.
Tak pernah memperdulikan semua keadaan itu, Mbok Iyem dan keluarganya tetap
menikmati hidup mereka dengan baik. Setiap anggota keluarganya bisa menjalankan
fungsinya dengan baik. Kehidupan dalam keluarga itu selalu berjalan dengan
harmonis meski tak menutup kemungkinan jika ada satu dua konflik. Tapi itu
bukan suatu masalah bagi Mbok Iyem,
justru dengan itulah keluarganya semakin erat dan penuh kasih sayang.
Mbok
Iyem adalah seorang wanita paruh baya yang sudah punya banyak keriput menghiasi
wajahnya. Hidup bersama seorang lelaki tua bernama Pakdhe Parjo dan dua belas orang anaknya. Mereka adalah Pardi,
Jumino, Slamet, Yadi, Parmin, Darno, Kartono, Inten, Pariyem, Darmi, Wati dan
Siti. Siti adalah anak tertua dan Pardi adalah anak termuda. Selisih umur
mereka tidak terlalu jauh, masing-masing hanya 1 – 2 tahun. Pardi anak paling
kecil masih berumur 5 bulan, hal ini terkadang memaksa Mbok Iyem mebagi waktu
dan pikirannya untuk merawat sawahnya, urusan dapur dan anak-anaknya yang lain.
------
Suatu hari, Pardi merengek minta uang untuk beli
buku yang memang dari awal masuk sekolah hanya punya satu. Tidak hanya Siti,
masing-masing anak punya kepentingan yang harus segera terpenuhi.
“Mak’e,
Darmi nyuwun buku. Bukune cuma satu, mak. Sampun sobek-sobek.”, rengek Darmi pada Mbok Iyem.
“Slamet nggih
nyuwun sepatu. Sepatune jebol, mak”
“Karto nyuwun
tas mak. Tas e sampun mboten amot”
Begitulah anak-anak Mbok Iyem. Memang resiko yang harus ditanggung Mbok Iyem dan suaminya jika suatu ketika harus mendengar rengekan
mereka. Hal ini sebenarnya tidak sering terjadi, hanya waktu-waktu tertentu
saat kebetulan berbarengan membutuhkan sesuatu. Bahkan terkadang, baru satu
langkah masuk gubugnya setelah dari sawah pinggir desa, mereka sudah menyambut
dengan daftar panjang kebutuhan mereka. Perih rasanya dada Mbok Iyem dan suaminya melihat tingkah anak-anaknya. Belum lagi
jika harus menjanjikan pada mereka agar bersabar menunggu sampai panenan tiba.
Apalagi musim saat ini yang tidak menentu sehingga sawah Mbok Iyem pernah berkali-kali gagal panen.
------
Malampun tiba, Mbok
Iyem sedang mengupas berbagai macam sayuran untuk dimasak keesokan harinya.
Siti perlahan mendekati emaknya.
“Mak’e,
Siti boleh tanya? Kenapa to adik Siti
banyak?”, tanya Siti penuh antisuas. Meskipun paling tua tapi Siti tetap saja
masih harus dianggap anak-anak yang baru gedhe. Umurnya baru 14 tahun.
“Mbak
Siti, banyak anak itu banyak rejeki. Iku
pancen pepatah dulu tapi mak’e masih
percaya hal iku.”, jelas Mbok Iyem.
“Banyak rejeki gimana to mak? Lha wong malah mak’e
banyak mengeluarkan uang gitu kok banyak rejeki. Tahu gitu kenapa kemarin dik
Pardi mau diminta Budhe Parjo mak’e ndak mau?”, gumam Siti.
“Hush,
kamu tu lho nduk. Jangan begitu, mak’e itu cuma percaya kalau Allah itu
sudah membawakan rejeki pada kalian semua. Sabar saja, nanti pasti dikasih
jalan. Nyuwun yang banyak ya Nduk sama Allah.”, kata Mbok Iyem dengan
sabar.
“Siti masih ndak
ngerti, mak”, kata Siti.
“Ngene nduk,
percaya to kalau setiap orang itu
sudah ditakdirkan rejekinya?”
“Nggih mak,
trus?”
“Lha ya
itu, mak’e percaya kalau
masing-masing anak mak’e bawa
rejekinya masing-masing. Insya Allah kalian bawa rejeki buat mak’e sama pak’e.”
“Oooo ngoten
mak, nggih lah. Ngapunten nggih mak’e. Siti sayang mak’e”
“Padha-padha
yo nduk. Adhi-adhimu kuwi
disayang, mbok kasih tahu kalau
salah, diperhatikan, amarga mak’e kamu ini ndak bisa ngandhani satu
per satu. Kamu kan anak pambarep, mak’e dibantu yo”
“Nggih,
mak”
“Banyak anak banyak rejeki”, begitulah prinsip hidup
Mbok Iyem. Meskipun kadang terkesan kuno, tetapi jika kita percaya tak ada yang
tak mungkin di dunia. Mbok Iyem sudah tak peduli lagi dengan program KB
pemerintah, ataupun semboyan “Dua anak cukup”. Baginya, anak-anaknya adalah
segalanya dalam hidupnya, anak-anaknya bisa menjadi semangat luar biasa untuk
mencari rejeki dan penghibur saat kesedihan menghampirinya.
Terkadang, Mbok Iyem bingung sendiri dengan keadaan
manusia saat ini. Banyak yang membuang anaknya di sungai karena “tidak
diharapkan” ataupun penyiksaan anak dan kekerasan seksual pada anak yang sering
terjadi. Jika dipikir lagi, anak adalah seorang manusia yang harus diberi kasih
sayang dan perhatian yang lebih supaya dapat tumbuh dengan baik dan
membanggakan orang tuanya saat sudah dewasa kelak. Semoga setiap orang dapat
menyadari tentang itu dan permasalahan anak dapat segela teratasi.
Selamat Hari Anak Nasional J
Saya merasakan sendiri, bahwa setiap anak membawa rezki masing -masing.Sebab memang saudara saya ada 12,dan saya adalah yang no 5. Semua saudara saya kok ya cukup semua ,makmur dan tergolong keluarga yang dihormati didesa terpencil ini.Membayangkan betapa sulitnya orang tua dulu membiayai dan mendidik putra ptrinya.padahal orang tia saya adalah keluarga gak mampu.Saya cuma yakin saja kalau ini berkat ketulusan do'a dan ihtiyar yang ihlas tanpa mengeluh dari orang tua
BalasHapus