Semua Karena Cinta :) -- spesial untuk ibu Guru :)
Mentari pagi mulai memancarkan sinarnya pada
celah-celah dedaunan yang hijau menyegarkan mata. Gemercik air sungai dan
kicauan burung seakan tak mau kalah menyumbangkan suaranya pagi itu. Seorang
wanita paruh baya berjalan dengan sepeda buntutnya, melewati jalan kecil yang
hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Jalan yang penuh lumpur dan becek
karena sedang musim penghujan. Tanpa rasa lelah sedikitpun, wanita itu tetap
berjalan dengan tergopoh-gopoh. Tenaganya sudah mulai berkurang mengingat
umurnya yang semakin tua. Tapi wajahnya terlihat begitu bersemangat bahkan
mengalahkan kemampuannya yang terbatas. Sepeda buntutnya yang sudah ada puluhan
tahun yang lalupun terlihat masih kuat meskipun karat dimana-mana. Begitulah
setiap paginya, wanita itu harus melewati jalanan yang begitu jauh dari
gubuknya. Jalanan becek, berlubang, berbatu ataupun aspal sudah biasa baginya.
Satu jam kemudian, wanita itu sampai pada sebuah
bangunan tua berwarna putih. Bangunan itu terletak di sebuah desa yang jauh
dari kata modern. Bangunan yang bisa jadi sangat tidak layak untuk dipakai.
Atap-atap yang rusak, genteng bocor, dinding retak, apapun itu menjadi
pemandangan yang lumrah baginya. Bangunan tersebut hanya sebuah ruangan yang sempit
dan masih dibagi menjadi dua ruangan dan dipisahkan oleh kain berwarna putih
kusam. Wanita itu tersenyum kecil setelah memarkir sepeda buntutnya di antara
semak-semak belukar di samping bangunan tersebut. Dia mulai berjalan memasuki
bangunan tersebut.
“Selamat pagi, anak-anak.....,”sapa perempuan
tersebut pada murid-muridnya.
“Pagi bu....,”balas mereka.
Tampak wajah-wajah ceria dan masih polos itu mampu
menghilangkan segala bentuk rasa lelahnya selama perjalanan tadi. Ya, wanita itu
adalah Bu Siti, seorang guru di sebuah SD nun jauh disana. Sekolah tersebut
berada di sebuah dusun terletak 100 km dari pusat kota. Keadaan ekonomi warga
yang kurang menguntungkan membuat anak-anaknya tidak dapat mengenyam pendidikan
yang berkualitas seperti layaknya anak-anak biasa. Sekolah itu hanya terdiri
atas dua kelas, yaitu satu kelas untuk anak kelas 1, 2, 3 dan satu kelas untuk
kelas 4, 5, 6.
Miris memang, saat banyak orang yang berleha-leha
dengan segala kemewahan hidupnya, masih ada segelintir orang yang bahkan
bersekolahpun hanya bisa dengan fasilitas yang sangat sederhana. Tak ada kata
mewah disana. Tak ada murid yang diantarkan oleh sopir pribadinya atau mobil
mewah yang setia membawanya kemanapun mereka mau. Jauh dari kata itu, mereka
hanya berangkat dengan berkendara kedua kaki yang lusuh tanpa alas. Jangankan
pakai sepatu, sandal saja hanya beberapa orang yang punya. Setiap harinya,
mereka hanya memakai baju oblong yang sobek di beberapa bagian dan masih banyak
keadaan mengenaskan lainnya. Tapi toh semangatnya tak kalah dengan orang-orang
yang lebih beruntung dari mereka.
Sampai pada suatu saat, diadakan sebuah perlombaan
membaca Al Qur’an tingkat SD di kota. Pesertanya bebas boleh darimana saja. Bu
Siti mendapatkan informasi tersebut dari salah seorang tetangganya yang
kebetulan kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Bu Siti berinisiatif
untuk mengikutkan salah satu muridnya dalam perlombaan tersebut. Ali namanya. Anak
kelas IV SD tersebut.
Meskipun berasal dari sekolah yang bisa jadi tidak
diakui oleh orang-orang diluar sana, Bu Siti tetap optimis dan membimbing Ali
untuk mengikuti lomba tersebut. Awalnya, Ali tidak mau mengikuti lomba tersebut
karena dia merasa minder dengan orang-orang kota. Namun, dengan sabar Bu Siti
berusaha untuk meyakinkan Ali sampai akhirnya Ali mau mengikuti lomba tersebut.
Perlombaanpun dilaksanakan. Seluruh murid Bu Siti
ikut datang ke kota dengan bantuan mobil pak Lurah untuk mendukung Ali. Ali
terlihat sangat grogi. Seluruh tubuhnya terasa dingin karena pertama kalinya
dia mengikuti lomba. Apalagi melihat begitu banyak saingannya yang sudah pasti
tidak ada keraguan atas kemampuan mereka. Terlihat Bu Siti mendekatinya dan
meneguhkan hatinya.
“Le,
berjuanglah dengan penuh semangat dan optimis. Mak’e dan pak’e hanya
bisa mendoakan, menang atau kalah itu urusan belakangan yang terpenting kamu
sekarang berusaha”, kata ayahnya.
“Nggih, mak,
pak, Insya Allah.”, kata Ali.
“Ali semangat ya. Kita dukung kamu.”, kata
teman-temannya.
“Iya teman-teman, doakan Ali ya”, pinta Ali.
“Ali.. Ibu yakin kamu bisa menakhlukan semua
sainganmu nak. Ibu percaya sama kamu. Tunjukkan bahwa kamu anak hebat dan layak
dibanggakan. Tunjukkan bahwa tak selamanya anak yang hidup kekurangan itu tak
punya sesuatu yang bisa diakui oleh semua orang. Jangan minder ya. Nak,
percayalah pasti Allah membantumu”, kata Bu Siti.
Ali terdiam sambil terus memahami apa yang dikatakan
oleh Ibu Guru yang sangat ia hormati dan sayangi itu. Segala macam perasaan
terus berkecamuk dalam hatinya. Tapi, setelah beberapa menit berlalu ia merasa
kata-kata yang disampaikan Bu Siti tadi sangat membuatnya begitu bersemangat
untuk melaksanakan amanah dari gurunya tersebut.
Tiba gilirannya ketika Ali maju ke depan para juri
dan menunjukkan kemampuannya dalam membaca Al Qur’an. Subhanallah, betapa suaranya sangat membuat seluruh orang dalam
ruangan perlombaan merinding. Bahkan Bu Sitipun tak kuasa menahan air matanya
karena terharu akan kemampuan terpendam anak didiknya yang berhasil dituangkan
di depan khalayak umum. Betapa sangat berartinya perjuangannya selama ini untuk
mengajari Ali dengan penuh ketelatenan dan kesabaran. Berapa ribu pasang
telinga yang dengan jelas mendengar suara merdu Ali yang sampai-sampai
merekapun terpana melihatnya.
Pada sore harinya, hasil perlombaan diumumkan oleh
para juri. Semua yang ada di dalam ruangan memperhatikan dengan seksama siapa
saja nama-nama yang berhasil memenangkan kompetisi tersebut. Nama pertama yang
disebut sebagai juara ketiga adalah salah seorang murid dari sebuah SMA yang
cukup bonafide di kota. Kemudian nama keduapun disebut sebagai juara dua yaitu
salah seorang siswa dari sekolah nomer satu di kota.
Semakin mendebarkan saja. Jantung Ali berdetak begitu
keras. Dia semakin tak yakin dengan hasil kompetensi tersebut karena pemenang
sebelumnya berasal dari sekolah-sekolah dan kalangan-kalangan yang jelas
terfasilitasi. Sementara itu, dia menoleh ke kanan, terlihat ayah dan ibunya
yang senantiasa mendampinginya tersenyum kepadanya. Dia kemudian menoleh ke
kiri, terlihat wajah sumringah Bu Siti yang seakan memberi pengharapan padanya.
Dia mencoba untuk tetap tenang dan menghilangkan segala jenis rasa minder yang
dari awal selalu menyerangnya.
“Juara satu dengan total nilai 1234 diraih oleh
peserta dengan nomor 280296 atas nama Aliando”
Ali hanya terdiam mendengar pengumuman tersebut. Dia
masih tak bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, sedang
orang-orang yang ada disekitarnya sudah riuh menuangkan rasa bahagia mereka
karena kemenangannya. Bu Siti paham betul apa yang ada dalam benak Ali saat
ini. Mungkin dia masih berpikir bagaimana bisa anak kampung sepertinya bisa
memenangkan perlombaan yang besar seperti itu. Apalagi sama sekali tak ada
fasilitas yang bisa diberikan oleh pihak sekolah untuk mendukung
keikutsertaannya dalam perlombaan itu. Semua murni hasil kerja keras sang guru,
Bu Siti.
Ali mulai berjalan menuju panggung untuk menerima
hadiah dengan wajah masih terdiam dan membisu karena tak percaya dengan apa
yang telah terjadi. Dari arah penonton, terlihat ayah dan ibunya begitu bangga
melihat anaknya berjalan sebagai pemenang. Tak hanya itu, ada Bu Siti yang
masih selalu tersenyum bangga terhadap salah satu anak didiknya ini. Dibalik
keberhasilan Ali, ada sesosok wanita yang berperan penting didalamnya. Betapa perjuangan
beliau selama ini tak pernah sia-sia. Ketika beliau harus rela pulang malam
untuk membimbing Ali.
Bu Siti, seorang guru yang mengabdi di daerah
terpencil. Daerah yang jauh dari kata modern. Beliau rela memperjuangkan apapun
demi kemajuan anak bangsa. Bahkan selama 20 tahun mengajar tanpa gaji yang tak
layak dan tidak sebanding dengan perjuangannya. Namun, beliau tetap mengadikan
hidupnya untuk mengajar. Baginya, pendidikan adalah hal yang sangat penting
untuk diperjuangkan. Tak peduli berapa jauh yang harus beliau tempuh setiap
harinya demi bisa mengajar. Tak peduli betapa minimnya fasilitas yang ada di
sekolahnya, atau apapun itu. Beliau adalah sosok orang yang gigih berjuang
tanpa mengenal rasa letih, karena semuanya dipersembahkan atas dasar cinta.
Komentar
Posting Komentar