Cerita Random :(



Magelang, 20 Juni 2017 (04:54)

Assalamu’alaikum wr. wb.

Setelah semalam berpikir keras tentang diri sendiri akhirnya pagi ini memutuskan ingin menuangkan ke dalam bentuk cerita. Jadi, beberapa waktu yang lalu saya terlibat obrolan dengan salah dua teman saya. Menurut saya, obrolan yang cukup berat karena melibatkan sensitivitas seseorang. Mengapa?

Di tengah kegalauan tentang kapan sidang? Kapan lulus? Kapan wisuda? Ada beberapa kali putus harapan dengan nasib revisian yang masih digantungkan. Jika logika sedang berjalan, hati ikhlas Lillahi ta’ala. Namun lebih sering perasaanlah yang memainkan perannya. Menunggu sehari, dua hari bahkan saat ini hampir sebulan sudah saya menunggu kepastian itu. Di awal cerita memang saya sudah yakin, agar Allah pun yakin untuk mengabulkannya. Ternyata ketika harapan saja tak kunjung jadi kenyataan rasanya perih.

Ya, harapan memang perlu namun harus rasional untuk dicapai. Namun, berharaplah hanya kepada Allah, bukan manusianya. Teman saya mengatakan bahwa waktu kita untuk ujian, ujian, sidang, wisuda, jatuh, bangun, dan lain-lain layaknya seperti jodoh, sudah Allah tentukan siapa, bagaimana dan kapan. Kalau memang bukan hari itu, pasti entah bagaimana cara mencegahnya. Di situ saya memahami bahwa rejeki memang sudah diatur dari sananya.

Ada kalanya hati memang terasa panas dan merasa diri sungguh bodoh bahkan malas. Terus bertanya, mengapa dia sudah dan saya belum? Meski permasalahan utama bukan pada diri sendiri, namun perasaan itu terus saja mengganggu. Kadang mikir, orang yang dasarnya rajin saja bisa “seret” jika faktor luarnya saja tidak mendukung, mangapa masih banyak orang yang sebenarnya banyak kemudahan justru tidak dimanfaatkan dengan baik?

Seseorang tidak hanya perlu melihat dari satu sisi saja, tapi memang harus melihat dari kedua sisi. Siapa yang lebih dan siapa yang kurang dibanding kita. Dengan melihat siapa yang ada di atas kita, pastilah ada semangat dan motivasi tersendiri untuk bisa menyusul kesuksesan orang. Saat melihat siapa yang kurang, ada rasa syukur yang dapat dirasakan. Masyaa Allah kita lebih beruntung!

Bukan memaksakan diri, namun ada kalanya tanggung jawab sebagai anak, sebagai mahasiswa yang kuliah ditanggung negara terasa lebih berat dibanding mereka yang kuliah atas biaya murni dari usaha orang tua. Pertanyaan setelah ini apa yang akan dilakukan ikut membuat semangat lebih karena merasa perjuangan tidak hanya sampai disini. Saya bukan tipe orang yang idealis apalagi perfeksionis. Saya kerjakan semua sesuai dengan alurnya asalkan jadi. Parah bukan?

Hmm, kalau dipikir-pikir orang yang dapatkan pacar lebih dulu tidak berarti mereka akan menikah duluan. Hal itu berlaku juga dalam dunia pertugasakhiran. Rejeki sudah dibagi-bagi. Dan sekali lagi, pikiran semacam ini hanya berlaku saat perasaan lebih mendominasi dibandingkan logika. Semalaman kadang dihabiskan untuk merenung, oh ya mungkin saya diberi waktu lebih untuk memikirkan apa yang akan saya lakukan setelah ini.

Entah dasar apa akhirnya terpikir satu tujuan setelah lulus nanti, belum berani koar-koar. Mungkin hanya bisa percaya dengan satu dua orang saja. Dari segi pekerjaan mungkin lebih sesuai dengan kebiasaan, tingkat ketelitian, dan kemampuan saya sendiri. Tapi lagi lagi saya harus menyerahkan semua padaNya agar tak lagi menjadi seseorang yang mendahuluiNya.

Selain tentang sidang, lulus, sebenarnya saya bukan orang yang terlalu berat memikirkan jodoh, menikah, dan hal semacam itu. Pikiran “ah ingin nikah saja!” hanya berlaku jika dan hanya jika mata diberi pemandangan paha-paha dan kelucuan seorang bayi kecil. Anak! Ya, hanya terlalu merasa lucu dengan anak kecil. Kadang muncul pula saat ingin menyerah saja dengan polemik tugas akhir yang kadang buat stres sendiri. Selain itu? Tidak sama sekali.

Saya hanya menunggu ada orang yang datang untuk benar-benar ingin menimang saya. Sebelum itu, saya ingin lebih banyak bebas menyendiri maupun menghabiskan waktu dan kesempatan dengan teman-teman dan keluarga. Mengapa? Bayangkan setelah menikah nanti berapa banyak kita harus menghabiskan waktu untuk suami? Waktu untuk me-time akan berkurang drastis. Ya begitulah dalam benak saya. Saya masih terlalu kecil untuk memikirkan besok mau makan apa? Kapan bayar listrik? Ah pusing!

Saya merasa masih banyak hal yang perlu saya siapkan maupun pelajari. Agama saja belum ada apa-apanya. Akademik apalagi, kemampuan? Entah. Jadi, gimana nggak galau akut? Rasanya saya ingin belajar ini, itu dan beberapa hal lain terutama agama. Alasannya simple, seorang ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bagaimana saya mau mendidik anak-anak saya nantinya jika ilmu saja masih segini? Bahkan mendekati nol! Jujur saja, cita-cita terbesar saya sederhana saja, nggak terlalu muluk. Bukan menteri, bupati, karyawan dinas atau yang lainnya, melainkan seorang anak, istri dan ibu terbaik.

Semalam saya mengikuti jamaan sholat tarawih di masjid kampung. Banyak hal yang salah sebenarnya, saya paham memang. Ngilu mau mengingatkan tapi sadar bahwa ilmu saya belum seberapa. Saya hanya belajar dari kos, hanya belajar dari kakak tingkat sedangkan beliau-beliau sudah cukup sepuh dan jelas lebih banyak pengalaman hidup dibandingkan saya. Masih miris dengan keadaan lingkungan saya yang cukup menakutkan.

Saya pernah mendengar bahwa belajar tidak harus memegang buku dan membacanya, namun bisa dengan pengalaman hidup kita sendiri maupun orang lain. Semoga dengan ini saya sendiri bisa belajar ikhlas dan bersyukur. Masih banyak orang-orang diluar sana yang bahkan makan saja tidak bisa. Semoga masing-masing dari kita dapat terus meng-upgrade untuk bisa lebih dan lebih baik lagi.

Sekian
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Love.
LHR.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen dalam rangka hari anak nasional

Cara Mengurus Surat Sehat Jasmani Rohani, SKCK, dan Bebas Narkoba

Cita-citaku menjadi Guru